.showpageArea a { text-decoration:underline; } .showpageNum a { text-decoration:none; border: 1px solid #cccccc; margin:0 3px; padding:3px; } .showpageNum a:hover { border: 1px solid #cccccc; background-color:#cccccc; } .showpagePoint { color:#333; text-decoration:none; border: 1px solid #cccccc; background: #cccccc; margin:0 3px; padding:3px; } .showpageOf { text-decoration:none; padding:3px; margin: 0 3px 0 0; } .showpage a { text-decoration:none; border: 1px solid #cccccc; padding:3px; } .showpage a:hover { text-decoration:none; } .showpageNum a:link,.showpage a:link { text-decoration:none; color:#333333; }

Senin, 22 April 2013

Keterampilan Berbicara, Bercerita tentang Objek di lingkungan daerah asal


1.1   Pengertian Keterampilan Berbicara
Menurut Nurgiyantoro (1995:276) berbicara adalah aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa, yaitu setelah aktivitas mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi yang didengar itu, kemudian manusia belajar untuk mengucapkan dan akhirnya terampil berbicara.
Berbicara diartikan sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan dan menyampaikan pikiran, gagasan, serta perasaan (Tarigan, 1983:14). Dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis,semantik, dan linguistik.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa berbicara diartikan sebagai suatu alat untuk mengkombinasikan gagasan-gagasan yang disusun serta mengembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami atau tidak baik bahan pembicaraan maupun para penyimaknya, apakah dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia mengkombinasikan gagasan-gagasannya apakah dia waspada serta antusias ataukah tidak.

1.2     Tujuan Berbicara
Setiap kegiatan berbicara yang dilakukan manusia selalu mempunyai maksud dan tujuan. Menurut Tarigan (1983:15) tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, maka sebaiknya sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikombinasikan, dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasi terhadap pendengarnya, dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala sesuatu situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Menurut Djago, dkk (1997:37) tujuan pembicaraan biasanya dapat dibedakan atas lima golongan yaitu:
a.       Menghibur
b.      Menginformasikan
c.       Menstimulasi
d.      Meyakinkan
e.       Menggerakkan.
Berdasarkan uraian di `atas maka dapat disimpulkan bahwa seseorang melakukan kegiatan berbicara selain untuk berkomunikasi juga bertujuan untuk mempengaruh orang lain dengana maksud apa yang dibicarakan dapat diterima oleh lawan bicaranya dengan baik. Adanya hubungan timbal balik secara aktif dalam kegiatan bebricara antara pembicara dengan pendengar akan membentuk kegiatan berkomunikasi menjadi lebih efektif dan efisien.

1.3     Faktor-faktor Penunjang Kegiatan Berbicara
Berbicara atau kegiatan komunikasi lisan merupakan kegiatan individu dalam usaha menyampaikan pesan secara lisan kepada sekelompok orang, yang disebut juga audience atau majelis. Supaya tujuan pembicaraan atau pesan dapat sampai kepada audience dengan baik, perlu diperhatikan beberapa faktor yang dapat menunjang keefektifan berbicara. Kegiatan berbicara juga memerlukan hal-hal di luar kemampuan berbahasa dan ilmu pengetahuan. Pada saat berbicara diperlukan:
a.    Penguasaan bahasa
b.   Bahasa
c.    Keberanian dan ketenangan
d.   Kesanggupan menyampaikan ide dengan lancar dan teratur.
Faktor penunjang pada kegiatan berbicara sebagai berikut. Faktor kebahasaan, meliputi:
a.    Ketepatan ucapan
b.    Penempatan tekanan nada, sendi atau durasi yang sesuai
c.    Pilihan kata
d.   Ketepatan penggunaan kalimat serta tata bahasanya
e.    Ketepatan sasaran pembicaraan.
Sedangkan faktor nonkebahasaan, meliputi:
a.    Sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku
b.    Pendangan harus diarahkan ke lawan bicara
c.    Kesediaan menghargai orang lain
d.   Gerak-gerik dan mimik yang tepat
e.    Kenyaringan suara
f.     Kelancaran
g.    Relevansi dan penalaran
h.    Penguasaan topik.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan berbicara adalah faktor urutan kebahasaan (linguitik) dan non kebahasaan (nonlinguistik).

2.4     Jenis-jenis Keterampilan Berbicara
Jenis-jenis keterampialan berbicara diantaranya:
2.4.1    Berbicara di muka umum (public speaking)
2.4.1.1       Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat memberitahukan atau melaporkan yang bersifat informatif (informative speaking)
2.4.1.2       Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat kekeluargaan, persahabatan (fellowship speaking)
2.4.1.3       Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat membujuk, mendesak, mengajak ,meyakinkan (persuasive speaking)
2.4.1.4       Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat merundingkan dengan tenang dan hati-hati (deliberative speaking)
2.4.2    Berbicara pada konferensi (conference speaking), diantaranya:
2.4.2.1  Tidak resmi (informal), yang meliputi:
2.4.2.1.1     Tukar pengalaman
2.4.2.1.2     Percakapan
2.4.2.1.3     Menyampaikan berita
2.4.2.1.4     Menyampaikan pengumuman
2.4.2.1.5     Memnyampaikan cerita atau pengalaman
2.4.2.1.6     Memberi petunuk
2.4.2.2  Resmi (formal)
2.4.2.2.1     Konfernsi
2.4.2.2.2     Perencanaan dan penilaian
2.4.2.2.3     Ceramah
2.4.2.2.4     Interview
2.4.2.2.5     Debat

2.5   Bercerita
Bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau sesuatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain.
Bercerita pada anak berfungsi untuk mengembangakan potensi kemampuan berbahasa anak melalui pendengaran dan kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih ketrampilan anak dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan. Melalui cerita, hingga mampu membantu pembentukan pribadi dan moral anak. Ada pula anak yang memiliki teman imajinasi, tak jarang anak “mengarang” suatu cerita. Imajinasi anak-anak membutuhkan penyaluran. Dengan bercerita dapat menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi.
Cerita yang bagus tidak sekedar menghibur tetapi juga mendidik, sekaligus merangsang perkembangan bahasa hingga anak memiliki kemampuan menggunakan bahasa. Dengan demikian dapat memacu kemampuan verbal anak.
Bercerita dengan mengunakan alat bantu buku, menjadi stimulasi yang efektif bagi anak untuk menumbuhkan minat baca. Minat itulah yang harus diberi lahan yang tepat, antara lain melalui kegiatan bercerita. Dalam kegiatan bercerita anak mendapat tambahan pengalaman yang bisa jadi merupakan hal baru baginya, hingga dapat memperluas wawasan, cara berfikir anak dan membuka cakrawala pengetahuan anak.
Untuk memulai bercerita pada anak, tidaklah sulit. Bercerita pada anak dapat diawali dengan menceritakan pengalaman hidup, kisah masa kecil, kejadian yang dialami hari ini  bahkan sampai menceritakan tentang daerah asal mereka

2.6   Bercerita Tentang Obyek di Lingkungan  Daerah Asal
Nama kota Ambarawa, dalam satu versi berasal dari kata Lembah dan Rawa. Kata Lembah diambil dari nama Kiai Lembah, sedangkan kata Rawa merupakan nama kawasan perairan di Ambarawa yang bernama Rawa Bening (Rawa Pening). Lidah masyarakat dahulu terbiasa menyebut tempat Kiai Lembah bersemadi dan bermunajat kepada Allah SWT dengan kata Mbahrawa, akhirnya berkembang menjadi Ambarawa. Dalam versi lain, kata Ambarawa didapat dari kata Amba yang berarti luas, dan Rawa, artinya daerah yang memiliki rawa yang luas. Salah satu rawa yang terdapat di Ambarawa adalah Rawa Pening.


Pada zaman dahulu di lembah  Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu hidup sepasang suami istri bernama  Ki Hajar Salokantara dan Nyai Selakanta. Mereka sangat baik hati, pemurah dan suka menolong. Namun mereka tidak dikaruniai seoranga anak.
Tidak lama kemudian Ki Hajar Salokantara meminta izin kepada Nyai Selakanta  pergi bertapa ke lereng gunung Telomoyo untuk memohon anak kepada Yang Maha Kuasa.
Berminggu-minggu, bahkan sampai berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu suaminya pulang.
Suatu hari Nyai Selakanta merasa mual kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir kalau dirinya sedang hamil. Dugannya pun benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya ia pun melahirkan dan sangat mengejutkan penduduk karena yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga. Anehnya Naga itu bisa berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama Baru Klinting. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya.
Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini juga mempunyai Ayah?, siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang raja yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomoyo. Kamu sudah waktunya mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.
Sampai di pertapaan Baru Klinting masuk ke gua dengan hormat, di depan Ki Hajar dan bertanya, “Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?” Kemudian Ki Hajar menjawab, “Ya, benar”, saya Ki Hajar Salokantara. Dengan sembah sujud di hadapan Ki Hajar, Baru Klinting mengatakan”berarti Ki Hajar adalah orang tuaku yang sudah lama aku cari-cari, aku anak dari Nyai Selakanta dari desa Ngasem dan ini Klintingan yang konon kata ibu peninggalan Ki Hajar. “Ya benar, dengan bukti Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku perlu bukti satu lagi kalau memang kamu anakku coba kamu melingkari gunung Telomoyo ini, kalau bisa, kamu benar-benar anakku”. Ternyata Baru Klinting bisa melingkarinya dan Ki Hajar mengakui kalau ia benar anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru Klinting untuk bertapa di dalam hutan lereng gunung di bukit Tugur. “pergilah bertapa ke bukit Tugur, suatu kelak tubuhmu akan berubah menjadi manusia”
Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka menemukan seekor Naga besar yang bertapa langsung dipotong-potong, dagingnya dibawa pulang untuk pesta. Dalam acara pesta itu datanglah seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam keramaian itu dan ingin menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka mengusir anak itu dari pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang menjijikkan dan memalukan. Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta.
Anak itu mendatangi sebuah rumah Di depan rumah reot itu Nyai Latung sedang menumbuk padi dengan lesung. Nyai Latung adalah seorng janda. Janda tua itu memperlakukan anak seperti tamu dihormati dan disiapkan hidangan.
 “Nenek,” kata anak itu, “Saya haus. Boleh minta air, nek?”
Nenek Latung mengambil segelas air yang diminum anak itu dengan lahap. Nyai Latung memandangi anak itu dengan iba.
“Mau air lagi? Kau mau makan? Tapi nenek cuma punya nasi, tidak ada lauk.”
“Mau, nek. Nasi saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu.
Nenek segera mengambilkan nasi dan sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan air lagi untuk anak itu, Anak itu makan dengan lahap, hingga tidak sebutir nasipun tersisa.
“Siapa namamu, nak? Di mana ayah ibumu?”
“Namaku Baru Klinting. Ayah dan ibu sudah tiada.”
“Kau tinggal saja di sini menemani nenek,”
“Terima kasih, nek. Tapi saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, nek. Hanya nenek saja yang baik hati kepadaku.”
Baru Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang tidak ramah kepadanya. Kemudian, ia pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Nyai Latung.
“Nek, nanti jika nenek mendengar suara kentongan, nenek naiklah ke atas lesung. Nenek akan selamat.”
Meskipun tidak mengerti maksud Baru Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja.
Baru Klinting masuk ke desa lagi. Ia mendatangi anak-anak yang sedang bermain. Ia mengambil sebatang lidi lalu menancapkannya di tanah. Lalu ia memanggil anak-anak.
“Ayo... siapa yang bisa mencabut lidi ini?”
Anak-anak mengejek Baru Klinting namun ketika satu per satu mereka mencoba mencabut lidi, tak ada yang berhasil. Mereka pun memanggil anak-anak yang lebih besar. Semua mencoba, semua gagal. Orang-orang dewasa pun berkumpul dan mencoba mencabut lidi. Tetap tidak ada yang berhasil.
Akhirnya Baru Klinting sendiri yang mencabut sendiri lidi itu. Dari lubang di tanah bekas menancapnya lidi memancar air yang makin lama makin banyak dan makin deras. Orang-orang berlarian kalang kabut, Salah seorang membunyikan kentongan sebagai tanda bahaya. Namun air cepat menjadi banjir dan menenggelamkan seluruh desa.
Nyai Latung mendengar bunyi kentongan di kejauhan, Ia teringat pesan Baru Klinting dan segera naik ke atas lesung. Baru ia duduk di dalam lesung, air sudah datang dan makin tinggi. Lesung itu terapung-apung. Nyai Latung melihat para tetangganya sudah mati tenggelam.
Setelah beberapa lama, air berhenti naik dan perlahan-lahan mulai surut. Lesung Nyai Latung terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke darat. Hanya ia yang selamat dari banjir. Warga desa yang lain semuanya tewas.
Air tidak seluruhnya kering kembali namun meninggalkan genangan luas berbentuk danau yang sekarang disebut Rawa Pening.



sumber:
http://bacadongengsedunia.blogspot.com/2011/12/legenda-rawa-pening-cerita-dari-jawa.html
http://wisatarawapeningbejalen.blogspot.com/2012/04/asal-usul-rawa-pening.html
http://www.indahnesia.info/2010/06/legenda-terjadinya-rawa-pening.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar