1.1 Pengertian Keterampilan Berbicara
Menurut Nurgiyantoro (1995:276) berbicara adalah
aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan berbahasa,
yaitu setelah aktivitas mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi yang didengar
itu, kemudian manusia belajar untuk mengucapkan dan akhirnya terampil
berbicara.
Berbicara diartikan sebagai kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan dan menyampaikan pikiran, gagasan, serta perasaan (Tarigan,
1983:14). Dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda
yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang
memanfaatkan sejumlah otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan atau
ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia
yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis,semantik, dan
linguistik.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
berbicara diartikan sebagai suatu alat untuk mengkombinasikan gagasan-gagasan
yang disusun serta mengembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang
pendengar atau penyimak. Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan
kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami
atau tidak baik bahan pembicaraan maupun para penyimaknya, apakah dia bersikap
tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia bersikap tenang
serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia mengkombinasikan
gagasan-gagasannya apakah dia waspada serta antusias ataukah tidak.
1.2 Tujuan Berbicara
Setiap kegiatan berbicara yang dilakukan manusia
selalu mempunyai maksud dan tujuan. Menurut Tarigan (1983:15) tujuan utama
berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran secara
efektif, maka sebaiknya sang pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin
dikombinasikan, dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasi terhadap
pendengarnya, dan dia harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala
sesuatu situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan. Menurut Djago,
dkk (1997:37) tujuan pembicaraan biasanya dapat dibedakan atas lima golongan
yaitu:
a. Menghibur
b. Menginformasikan
c. Menstimulasi
d. Meyakinkan
e. Menggerakkan.
Berdasarkan uraian di `atas maka dapat disimpulkan
bahwa seseorang melakukan kegiatan berbicara selain untuk berkomunikasi juga
bertujuan untuk mempengaruh orang lain dengana maksud apa yang dibicarakan
dapat diterima oleh lawan bicaranya dengan baik. Adanya hubungan timbal balik
secara aktif dalam kegiatan bebricara antara pembicara dengan pendengar akan
membentuk kegiatan berkomunikasi menjadi lebih efektif dan efisien.
1.3 Faktor-faktor Penunjang Kegiatan Berbicara
Berbicara atau kegiatan komunikasi lisan merupakan
kegiatan individu dalam usaha menyampaikan pesan secara lisan kepada sekelompok
orang, yang disebut juga audience atau majelis. Supaya tujuan
pembicaraan atau pesan dapat sampai kepada audience dengan baik, perlu
diperhatikan beberapa faktor yang dapat menunjang keefektifan berbicara.
Kegiatan berbicara juga memerlukan hal-hal di luar kemampuan berbahasa dan ilmu
pengetahuan. Pada saat berbicara diperlukan:
a. Penguasaan
bahasa
b. Bahasa
c. Keberanian
dan ketenangan
d. Kesanggupan
menyampaikan ide dengan lancar dan teratur.
Faktor penunjang pada kegiatan berbicara sebagai
berikut. Faktor kebahasaan, meliputi:
a. Ketepatan
ucapan
b. Penempatan
tekanan nada, sendi atau durasi yang sesuai
c. Pilihan
kata
d. Ketepatan
penggunaan kalimat serta tata bahasanya
e. Ketepatan
sasaran pembicaraan.
Sedangkan faktor nonkebahasaan, meliputi:
a. Sikap
yang wajar, tenang dan tidak kaku
b. Pendangan
harus diarahkan ke lawan bicara
c. Kesediaan
menghargai orang lain
d. Gerak-gerik
dan mimik yang tepat
e. Kenyaringan
suara
f. Kelancaran
g. Relevansi
dan penalaran
h. Penguasaan
topik.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan berbicara adalah faktor urutan
kebahasaan (linguitik) dan non kebahasaan (nonlinguistik).
2.4 Jenis-jenis
Keterampilan Berbicara
Jenis-jenis keterampialan berbicara diantaranya:
2.4.1 Berbicara
di muka umum (public speaking)
2.4.1.1 Berbicara
dalam situasi-situasi yang bersifat memberitahukan atau melaporkan yang
bersifat informatif (informative speaking)
2.4.1.2 Berbicara
dalam situasi-situasi yang bersifat kekeluargaan, persahabatan (fellowship
speaking)
2.4.1.3 Berbicara
dalam situasi-situasi yang bersifat membujuk, mendesak, mengajak ,meyakinkan
(persuasive speaking)
2.4.1.4 Berbicara
dalam situasi-situasi yang bersifat merundingkan dengan tenang dan hati-hati
(deliberative speaking)
2.4.2 Berbicara
pada konferensi (conference speaking), diantaranya:
2.4.2.1 Tidak
resmi (informal), yang meliputi:
2.4.2.1.1 Tukar
pengalaman
2.4.2.1.2 Percakapan
2.4.2.1.3 Menyampaikan
berita
2.4.2.1.4 Menyampaikan
pengumuman
2.4.2.1.5 Memnyampaikan
cerita atau pengalaman
2.4.2.1.6 Memberi
petunuk
2.4.2.2 Resmi
(formal)
2.4.2.2.1 Konfernsi
2.4.2.2.2 Perencanaan
dan penilaian
2.4.2.2.3 Ceramah
2.4.2.2.4 Interview
2.4.2.2.5 Debat
2.5 Bercerita
Bercerita adalah menuturkan sesuatu
yang mengisahkan tentang perbuatan atau sesuatu kejadian dan disampaikan secara
lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain.
Bercerita pada anak berfungsi untuk mengembangakan
potensi kemampuan berbahasa anak melalui pendengaran dan kemudian menuturkannya
kembali dengan tujuan melatih ketrampilan anak dalam bercakap-cakap untuk
menyampaikan ide dalam bentuk lisan. Melalui cerita, hingga mampu membantu pembentukan
pribadi dan moral anak. Ada pula anak yang memiliki teman imajinasi, tak jarang
anak “mengarang” suatu cerita. Imajinasi anak-anak membutuhkan penyaluran.
Dengan bercerita dapat menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi.
Cerita yang bagus tidak sekedar menghibur tetapi juga
mendidik, sekaligus merangsang perkembangan bahasa hingga anak memiliki
kemampuan menggunakan bahasa. Dengan demikian dapat memacu kemampuan verbal anak.
Bercerita dengan mengunakan alat bantu buku, menjadi
stimulasi yang efektif bagi anak untuk menumbuhkan minat baca. Minat itulah
yang harus diberi lahan yang tepat, antara lain melalui kegiatan bercerita. Dalam
kegiatan bercerita anak mendapat tambahan pengalaman yang bisa jadi merupakan
hal baru baginya, hingga dapat memperluas wawasan, cara berfikir anak dan membuka
cakrawala pengetahuan anak.
Untuk memulai bercerita pada anak, tidaklah sulit.
Bercerita pada anak dapat diawali dengan menceritakan pengalaman hidup, kisah
masa kecil, kejadian yang dialami hari ini bahkan sampai menceritakan tentang daerah asal
mereka
2.6 Bercerita
Tentang Obyek di Lingkungan Daerah Asal
Nama kota Ambarawa, dalam satu versi berasal dari kata
Lembah dan Rawa. Kata Lembah diambil dari nama Kiai Lembah, sedangkan kata Rawa
merupakan nama kawasan perairan di Ambarawa yang bernama Rawa Bening (Rawa
Pening). Lidah masyarakat dahulu terbiasa menyebut tempat Kiai Lembah bersemadi
dan bermunajat kepada Allah SWT dengan kata Mbahrawa, akhirnya berkembang
menjadi Ambarawa. Dalam versi lain, kata Ambarawa didapat dari kata Amba yang
berarti luas, dan Rawa, artinya daerah yang memiliki rawa yang luas. Salah satu
rawa yang terdapat di Ambarawa adalah Rawa Pening.
Pada zaman dahulu di lembah Merbabu
dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu hidup sepasang
suami istri bernama Ki Hajar Salokantara
dan Nyai Selakanta. Mereka sangat baik hati, pemurah dan suka menolong. Namun
mereka tidak dikaruniai seoranga anak.
Tidak lama
kemudian Ki Hajar Salokantara meminta izin kepada Nyai Selakanta pergi bertapa ke lereng gunung Telomoyo untuk
memohon anak kepada Yang Maha Kuasa.
Berminggu-minggu,
bahkan sampai berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu suaminya pulang.
Suatu hari Nyai Selakanta merasa mual kemudian muntah-muntah. Ia pun
berpikir kalau dirinya sedang hamil. Dugannya pun benar. Semakin hari perutnya
semakin membesar. Setelah tiba saatnya ia pun melahirkan dan sangat mengejutkan
penduduk karena yang dilahirkan bukan seorang bayi melainkan seekor Naga.
Anehnya Naga itu bisa berbicara seperti halnya manusia. Naga itu diberi nama
Baru Klinting. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya.
Di usia remaja Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Bu, “Apakah saya ini
juga mempunyai Ayah?, siapa ayah sebenarnya”. Ibu menjawab, “Ayahmu seorang
raja yang saat ini sedang bertapa di gua lereng gunung Telomoyo. Kamu sudah
waktunya mencari dan menemui bapakmu. Saya ijinkan kamu ke sana dan bawalah
klintingan ini sebagai bukti peninggalan ayahmu dulu. Dengan senang hati Baru
Klinting berangkat ke pertapaan Ki Hajar Salokantara sang ayahnya.
Sampai di pertapaan Baru Klinting masuk ke gua dengan hormat, di depan Ki
Hajar dan bertanya, “Apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?”
Kemudian Ki Hajar menjawab, “Ya, benar”, saya Ki Hajar Salokantara. Dengan
sembah sujud di hadapan Ki Hajar, Baru Klinting mengatakan”berarti Ki Hajar
adalah orang tuaku yang sudah lama aku cari-cari, aku anak dari Nyai Selakanta dari
desa Ngasem dan ini Klintingan yang konon kata ibu peninggalan Ki Hajar. “Ya
benar, dengan bukti Klintingan itu kata Ki Hajar. Namun aku perlu bukti satu
lagi kalau memang kamu anakku coba kamu melingkari gunung Telomoyo ini, kalau
bisa, kamu benar-benar anakku”. Ternyata Baru Klinting bisa melingkarinya dan
Ki Hajar mengakui kalau ia benar anaknya. Ki Hajar kemudian memerintahkan Baru
Klinting untuk bertapa di dalam hutan lereng gunung di bukit Tugur. “pergilah
bertapa ke bukit Tugur, suatu kelak tubuhmu akan berubah menjadi manusia”
Suatu hari penduduk desa Pathok mau mengadakan pesta sedekah bumi setelah
panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk
memeriahkan pesta itu rakyat beramai-ramai mencari hewan, namun tidak
mendapatkan seekor hewan pun. Akhirnya mereka menemukan seekor Naga besar yang
bertapa langsung dipotong-potong, dagingnya dibawa pulang untuk pesta. Dalam
acara pesta itu datanglah seorang anak jelmaan Baru Klinting ikut dalam
keramaian itu dan ingin menikmati hidangan. Dengan sikap acuh dan sinis mereka
mengusir anak itu dari pesta dengan paksa karena dianggap pengemis yang
menjijikkan dan memalukan. Dengan sakit hati anak itu pergi meninggalkan pesta.
Anak itu mendatangi sebuah rumah Di depan rumah reot itu Nyai Latung sedang
menumbuk padi dengan lesung. Nyai Latung adalah seorng janda. Janda tua itu memperlakukan
anak seperti tamu dihormati dan disiapkan hidangan.
“Nenek,” kata anak itu, “Saya haus. Boleh
minta air, nek?”
Nenek Latung
mengambil segelas air yang diminum anak itu dengan lahap. Nyai Latung
memandangi anak itu dengan iba.
“Mau air lagi? Kau mau makan? Tapi nenek cuma punya nasi, tidak ada lauk.”
“Mau air lagi? Kau mau makan? Tapi nenek cuma punya nasi, tidak ada lauk.”
“Mau, nek.
Nasi saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu.
Nenek segera
mengambilkan nasi dan sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan air lagi untuk
anak itu, Anak itu makan dengan lahap, hingga tidak sebutir nasipun tersisa.
“Siapa
namamu, nak? Di mana ayah ibumu?”
“Namaku Baru
Klinting. Ayah dan ibu sudah tiada.”
“Kau tinggal
saja di sini menemani nenek,”
“Terima
kasih, nek. Tapi saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, nek. Hanya nenek
saja yang baik hati kepadaku.”
Baru
Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang tidak ramah kepadanya.
Kemudian, ia pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Nyai Latung.
“Nek, nanti
jika nenek mendengar suara kentongan, nenek naiklah ke atas lesung. Nenek akan
selamat.”
Meskipun
tidak mengerti maksud Baru Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja.
Baru
Klinting masuk ke desa lagi. Ia mendatangi anak-anak yang sedang bermain. Ia
mengambil sebatang lidi lalu menancapkannya di tanah. Lalu ia memanggil
anak-anak.
“Ayo...
siapa yang bisa mencabut lidi ini?”
Anak-anak
mengejek Baru Klinting namun ketika satu per satu mereka mencoba mencabut lidi,
tak ada yang berhasil. Mereka pun memanggil anak-anak yang lebih besar. Semua
mencoba, semua gagal. Orang-orang dewasa pun berkumpul dan mencoba mencabut
lidi. Tetap tidak ada yang berhasil.
Akhirnya Baru Klinting sendiri yang mencabut sendiri lidi itu. Dari lubang
di tanah bekas menancapnya lidi memancar air yang makin lama makin banyak dan
makin deras. Orang-orang berlarian kalang kabut, Salah seorang membunyikan
kentongan sebagai tanda bahaya. Namun air cepat menjadi banjir dan
menenggelamkan seluruh desa.
Nyai Latung mendengar bunyi kentongan di kejauhan, Ia teringat pesan Baru
Klinting dan segera naik ke atas lesung. Baru ia duduk di dalam lesung, air
sudah datang dan makin tinggi. Lesung itu terapung-apung. Nyai Latung melihat
para tetangganya sudah mati tenggelam.
Setelah beberapa lama, air berhenti naik dan perlahan-lahan mulai surut.
Lesung Nyai Latung terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke darat. Hanya ia
yang selamat dari banjir. Warga desa yang lain semuanya tewas.
Air tidak seluruhnya kering kembali namun meninggalkan genangan luas
berbentuk danau yang sekarang disebut Rawa Pening.
http://bacadongengsedunia.blogspot.com/2011/12/legenda-rawa-pening-cerita-dari-jawa.html
http://wisatarawapeningbejalen.blogspot.com/2012/04/asal-usul-rawa-pening.html
http://www.indahnesia.info/2010/06/legenda-terjadinya-rawa-pening.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar